Not The Same

Not The Same

NOT THE SAME

 

|| AU, Angst, Friendship, slight!School-Life — Vignette — PG-15 ||

starring
SEVENTEEN Vernon as Vernon Choi
and
BOYS24 Choi Jaehyun as Kyle Choi

//

 

“Hey, namamu Vernon ‘kan? Namaku Kyle, salam kenal.”

Berawal dari sebuah pertemuan singkat, Vernon Choi menjadi teman dekat seorang Kyle Choi namun, hubungan pertemanan itu tidak seperti yang Vernon bayangkan sebelumnya.

“Tunggu apa lagi, Vernon? Cepat hajar dia!”

Vernon menegak ludah. Tangannya yang mengepal bergetar antara takut dan marah ketika Kyle dan yang lainnya terus-terusan meneriakinya untuk menghajar laki-laki yang tersungkur di hadapannya.

“M-maafkan aku!”

Vernon memalingkan wajahnya, tidak tega melihat pemandangan di hadapannya: Kim Taemin —si tukang tindas di kelasnya— babak belur, rupa menariknya tak tampak akibat lebam yang memenuhi bagian wajahnya.

“Hey, kau ini kenapa ‘sih, Vernon?” Derrick Kwon mengerenyitkan keningnya seraya berujar karena Vernon tak kunjung menghajar Taemin.

Yang lainnya pun menyusul Derrick, mulai meneriaki Vernon untuk melakukan apa yang menurut mereka seharusnya laki-laki itu lakukan. Secara ajaib, keributan itu berhenti —hanya dengan sebuah gerakan tangan saja Kyle mampu membuat mereka semua berhenti meneriaki Vernon.

Laki-laki dengan rambut berwarna cokelat muda itu melangkah mendekati Vernon dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket bewarna biru tua yang ia kenakan. Dengan ringannya, sebuah rangkulan melayang di bahu Vernon, “jangan dengarkan mereka. Kalau kau tidak sanggup, biar aku saja yang lakukan.”

Kedua mata Vernon melebar. Begitu rangkulan Kyle lepas dari bahunya, ia cepat-cepat menarik lengan Kyle yang sudah berjalan semakin dekat pada Taemin yang tubuhnya bergetar hebat.

“Jangan. Biar aku saja.” Kemantapan nada bicara Vernon berhasil membujuk Kyle.

“Oke. Make it fastyeah? Kita tidak punya banyak waktu.”

Menyanggupi permintaan Kyle, Vernon bergegas mendekati Taemin yang kini menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Maafkan aku.” Vernon berbisik pelan sebelum menendang Taemin kencang-kencang, membuat laki-laki berbadan besar itu kembali tersungkur.

Do it like how I do itVernon.” Seolah suara Kyle adalah bisikan malaikat, Vernon menduduki tubuh Taemin dan mulai melayangkan tinju demi tinju pada laki-laki yang mengerang kesakitan itu.

Sementara Vernon terus menghajar Taemin, yang lainnya tampak kecewa. “Ia tidak melakukannya dengan sekuat tenaga,” begitu ujar salah seorang dari mereka namun, Kyle berkata lain, “charari*. Tidak begitu buruk.”

.
.
.

Perjalanan pulang terasa begitu panjang bagi Vernon karena keadaan sunyi yang terjadi di dalam mobil GRAND I10 GLS M/T keluaran Hyundai milik Kyle. Tempat tinggal keduanya berada di arah yang sama dari sekolah sehingga, semenjak pertemuan pertama hingga saat ini, Kyle selalu mengantar-jemput Vernon. Anggap saja tawaran seorang teman, begitu kata Kyle waktu itu.

Kok tidak bicara ‘sih?”

Mobil berwarna biru dongker itu berhenti di lampu merah. Kyle yang memegang kemudi menggunakan kesempatan ini untuk mengecek keadaan Vernon yang duduk di sebelahnya.

You okaybuddy?” Sebuah tepukan ringan mendarat di paha Vernon.

Vernon membisu. Menggunakan tangannya sebagai topangan dagu, ia memandangi keluar jendela mobil, membuat Kyle sekali lagi menepuk pahanya.

“Percayalah padaku, apa yang kau rasakan itu tidak akan berlangsung lama, ‘kok. Awalnya aku juga begitu tetapi lama-lama rasanya biasa saja. Jangan khawa—”

“Jangan khawatir kepalamu!” Vernon mendelik pada Kyle, ia mendesis pelan.

He must be fuckin’ hospitalized because of what I did!” Vernon menepis tangan Kyle yang masih berada di pahanya. Dadanya naik turun, menunjukkan betapa emosi dirinya.

Chilldude. ‘Kan aku sudah bilang tadi, kalau kau tidak sanggup biar aku saja yang lakukan.” Terdengar sedikit kekecewaan pada nada bicara Kyle karena Vernon baru saja menepis tangannya.

Laki-laki dengan tinggi 180cm itu kembali memegang stir, membuat mobil kembali melaju ketika lampu lalu lintas sudah berwarna hijau. Sementara itu, Vernon melipat kedua tangannya di depan dada, pandangannya kembali tertuju pada jalanan di balik jendela mobil. Benaknya berkali-kali merutuki baik dirinya sendiri maupun Kyle.

Sialan kau, Kyle. Tentu saja aku lebih memilih untuk melakukannya sendiri daripada membiarkan kau yang melakukannya.

Sudah dari minggu lalu Vernon bertekad untuk melakukan bagiannya bila tiba saatnya. Ia tidak ingin membiarkan Kyle melakukan bagiannya terus menerus karena, yang terakhir kali laki-laki itu hajar berakhir tidak bisa menggunakan kedua kaki —lumpuh karena tulang ekornya patah.

“Sudah sampai.” Kyle berujar bersamaan dengan diinjaknya pedal rem, membuat mobil berhenti dengan sedikit tersendat.

Kedua mata Vernon melebar dan tangannya memegangi tali sabuk pengaman yang untungnya belum ia lepas. “Hellman! Apa-apaan?!”

Bentakan Vernon disambut Kyle dengan kekehan, “hanya ingin mencairkan suasana, buddy. Aku tidak mungkin mencelakakanmu, kita ‘kan teman.” Kyle melepas sabuk pengamannya kemudian membuka pintu mobil, memijakkan kedua kakinya ke atas aspal.

Vernon turun dari mobil setelah melepas sabuk pengamannya. Ia berjalan ke arah belakang mobil, di mana Kyle sudah membuka bagasi mobil dan menunggunya.

Your bag.” Kyle menyerahkan tas gendong Vernon yang sudah ia keluarkan dari bagasi dan meletakannya di atas pangkuan kedua tangan Vernon secara perlahan.

Thanks.” Ujar Vernon sebelum menggendong tasnya dan berjalan mejauhi Kyle yang tengah menutup pintu bagasi mobil.

“Hey!”

Vernon yang sudah memijakkan kaki di pekarangan rumahnya menoleh pada Kyle, “apa?”

“Besok jalan-jalan ke pantai Naksan, yuk?”

“Terserah saja.” Vernon menjawab sambil berlalu memasuki rumahnya.

 

“Hey! Lihat siapa yang datang! Si orang asing!”

Gelak tawa memenuhi seisi kelas. Memang tidak semuanya menertawakan namun, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

“Kau ini perempuan atau laki-laki ‘sih? Kulitmu putih sekali?” 

Vernon hanya menunduk sambil menyusuri lorong tempat duduk. Bangku yang berada di bagian belakang kelas adalah tujuannya. Dengan duduk di sana, perhatian anak-anak yang suka mengganggunya tidak akan tertuju padanya.

“Heh! Kau punya telinga tidak ‘sih?!” 

Jantung Vernon berdegup kencang ketika tangan Taemin memegangi pergelangan tangannya. Percuma saja ia mencoba melepaskan diri karena pegangan Taemin semakin lama semakin kuat, sengaja berniat untuk menyakitinya.

“Oh iya, aku lupa. Si bule ini kan tidak bisa bahasa Korea.”

Lagi-lagi gelak tawa terdengar. Dari sudut matanya, Vernon dapat melihat beberapa murid ada yang mulai keluar kelas karena menyadari apa yang mungkin akan terjadi.

“You, me. After school at rooftop.” Dengan bahasa Inggris seadanya, Taemin berujar dengan nada mengolok.

 

Vernon melemparkan tasnya ke atas tempat tidurnya yang tertata rapi, disusul oleh dirinya yang menghempaskan diri ke atas sana dengan posisi telentang. Begitu punggungnya menyentuh permukaan kasur, ia langsung memejamkan kedua matanya. Ia lelah, bukan hanya secara fisik karena pergumulan tadi saja tetapi juga secara mental karena ia benar-benar merasa terbebani.

 

“Uhuk!” Vernon membungkuk, memegangi perutnya yang terasa sakit akibat hantaman yang diberikan oleh Taemin.

Rasa terkejut muncul ketika ia menyeka bibirnya dan mendapati darah berada di permukaan tangannya. Ia sudah terbiasa ditindas namun, penyerangan yang terjadi kali ini adalah hal baru.

Vernon mulai merasakan apa yang ketua kelasnya, Jung Minhee, katakan itu benar, ia terlalu tidak peduli akan penindasan yang terjadi padanya sehingga pihak penindas pun mulai maju selangkah lebih berani. Penyesalan selalu datang terlambat dan ketika Vernon memikirkan hal itu, Taemin kembali menghantam —kali ini wajahnya.

Rasa nyeri Vernon rasakan pada pelipisnya. Dari rasa sakitnya ia dapat menjamin bahwa memar akan membekas di sana. 

//

 

Vernon melongok ke dalam mobil melalui kaca jendela yang terbuka, ia jelas tampak kebingungan dan Kyle hanya tertawa melihat reaksi temannya itu.

“Ada apa? Kenapa bengong segala? Masuklah!”

Yeaokay.” Vernon membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Ia membalikan tubuhnya sedikit untuk meletakkan tasnya di bangku penumpang yang berada di bagian belakang bangku pengemudi.

All set?”

Hold up,” Vernon menyahut seraya mengenakan sabuk pengaman. “Oke.” Ia melanjutkan setelah yakin sabuk pengaman telah dipasangnya dengan benar.

Layaknya hal itu adalah sebuah komando, Kyle langsung menancap gas. Mobil Hyundai yang dinaiki keduanya pun melaju dengan cepat dari kompleks perumahan menuju ke jalan raya dengan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang di dalamnya.

Angin menerpa wajah Vernon dan Kyle dari jendela mobil yang terbuka. Yang kencang bukan anginnya, tetapi laju mobil. Membuat Vernon was-was setiap kali mereka akan melewati zebra cross.

“Kau tampak keren sekali hari ini, Kyle.” Ujar Vernon, memuji penampilan Kyle dengan sunglasses yang menghalangi netranya.

Thanks!” Kyle kemudian tertawa. Ia menoleh pada Vernon, menurunkan sedikit kacamatanya yang sebenarnya membuat apapun yang dilihatnya menjadi gelap, dan menatap Vernon cukup seksama untuk beberapa saat.

Vernon dibuat gelagapan. Secara bergantian ia menatap jalanan dan kembali menatap Kyle kemudian kembali menatap jalanan dan kembali lagi menatap Kyle. “Bodoh! Perhatikan jalannya!”

“Sebetapa aku ingin kembali memujimu tetapi, kau benar-benar terlihat biasa saja, Vernon. Aku khawatir aku tidak menemukan pujian yang cocok dengan penampilanmu hari ini.” Kyle terkekeh, pandangannya kembali tertuju pada jalanan di depannya.

Vernon menyunggingkan senyum, “aku lebih mengkhawatirkan apa yang harus kau katakan pada ayahmu kalau mobilmu tadi menyerempet truk yang sedang parkir di pinggir jalan.”

Tawa dari keduanya lebih kencang daripada suara radio yang diputar di dalam mobil.

Sebenarnya, pertemanan seperti inilah yang selalu Vernon harap jalani bersama dengan Kyle.

.
.
.

Vernon memijakkan kakinya di atas pasir yang dibasahi oleh ombak, rasanya menyenangkan, mengingatkannya akan masa kecilnya yang ia lalui di California, Amerika Serikat. Rumahnya yang terletak tak jauh dari pantai memungkinkannya untuk mengunjungi pantai setiap hari pada sore hari untuk melihat sunset.

“Pantai mengingatkanmu pada kampung halaman, bukan begitu?”

Yea… Sort of.” Sahut Vernon yang kini sedang membasuh tangannya dalam gulungan ombak yang menepi ke pantai.

“Aku dulu tinggal di New York, jarang ke pantai. Paling satu tahun dua sampai empat kali. Aku baru tahu betapa menyenangkannya berada di pantai itu setelah aku pindah ke Korea.”

Vernon berhenti membasuh tangannya, ia berjongkok tepat di samping Kyle sambil mendengarkan celotehan laki-laki itu. Saat-saat seperti inilah yang sudah lama dinantinya. Pertemanannya dengan Kyle tidak pernah terasa nyata, seolah mereka berteman bukan karena keinginan masing-masing melainkan karena latar belakang mereka —korban penindasan.

 

Suara meja yang berdecit membuat Vernon menoleh, menyebabkan hantaman dari salah satu sekokongkolan Taemin mengenai bagian belakang kepalanya.

“Lihat kemana ka—”

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Taemin tengah habis-habisan dihajar oleh seorang laki-laki, yang seharusnya adalah si tertindas. Tak perlu menunggu lama, semua sekongkolan Taemin berlari menghampiri ‘bos’ mereka, begitu juga dengan Taekgang yang tadinya sedang mengerjai Vernon.

Takjub, kagum, dan sedikit kengerian dirasakan oleh Vernon, membuat laki-laki keturunan Prancis-Amerika-Korea itu berdiam di tempat. Saat matanya bertemu dengan mata si laki-laki itu, semuanya sudah melarikan diri, menyisakan dua korban penindasan saling menatap dalam diam.

“Hey, namanu Vernon ‘kan? Namaku Kyle, salam kenal.”

Vernon menyambut ajakan Kyle untuk berjabat tangan. Dijabatnya tangan Kyle dengan erat, “that was sick, bro.”

Kyle menyeringai, “tentu saja. Mereka pikir siapa mereka? Keturunan murni Korea yang bisa menggunakan kepalan tangannya untuk menindas keturunan Korea yang tidak murni? Kutunjukkan saja pada mereka bahwa aku tidak dungu, aku juga tahu cara menggunakan kepalan tanganku.”

Vernon tertawa mendengar jawaban Kyle. Tentu saja. Ia juga bisa menggunakan kepalan tangannya untuk menghajar mereka tetapi, ia merasa bahwa hal itu tidaklah benar sehingga ia tak pernah benar-benar melakukannya.

“Rumahmu di mana? Mau pulang bareng?”

 

Vernon dan Kyle, keduanya duduk di bawah payung pantai berwarna biru, menikmati waktu santai mereka serta pemandangan indah yang ditawarkan oleh pantai —walaupun definisi pemandangan indah yang dimiliki oleh keduanya itu berbeda.

Damn! Aku tidak pernah sadar body-line ga—”

Vernon menyenggol Kyle dengan sikunya secara perlahan, “hush! Orangnya menengok kemari, ‘tuh!”

“Biar saja. Gadis-gadis Korea walaupun mencintai produk lokal juga menyukai pria tampan ‘kan?” Kyle berujar tanpa menatap Vernon. Pandangannya menuju pada gadis yang menengok ke arah mereka dan tanpa sedikit keraguan pun ia mengedipkan sebelah matanya, membuat wajah sang gadis memerah.

Vernon tertawa begitu gadis itu berlalu, kemudian mendaratkan tepukan-tepukan ringan pada bahu Kyle.

“Apa? Benar ‘kan kataku? Kita ini tampan, makannya para pecundang seperti Taemin itu iri.”

Tawa Vernon berhenti begitu nama Taemin disebutkan.

“Hey, tenang saja, oke? Dengan pukulanmu yang seperti kemarin ini aku berani jamin ia tidak akan berakhir di peti mati, bro.”  Seolah menyadari kekhawatiran Vernon, Kyle berujar untuk menenangkannya.

“Apa menurutmu mereka pantas mendapatkannya?”

“Tentu saja mereka pantas mendapatkannya. Mereka menindas kita sejak awal. Tidak salah bukan kalau kita balas menindas mereka? Kalau mereka bisa membentuk geng berisi orang-orang murni keturunan Korea untuk menindas para keturunan Korea yang tidak murni,  kita juga bisa tidak membentuk kelompok berisi keturunan Korea yang tidak murni untuk membalas mereka. An eye for an eye, bukan?”

Vernon menggeleng-gelengkan kepalanya, “yeah, memang ‘sih an eye for an eye tetapi… Aku selalu merasakan apa yang kita lakukan itu tidak benar, Kyle. Aku selalu merasa apa yang kita lakukan pada mereka membuat kita sama saja dengan mereka.”

Erangan frustasi dikeluarkan oleh Kyle, “God damn it, Vernon! Apa kau gila?” Tawa sinis menyusul. “Sadarkah kau mereka sudah merenggut kebebasan kita sebagai manusia selama ini? Mereka memperlakukan kita seperti kita ini memang layak dijadikan samsak hanya karena kita ini berdarah keturunan. Diskriminasi, itu yang mereka lakukan.”

Vernon terdiam. Ia tahu apa yang dikatakan oleh Kyle adalah benar. Taemin dan kawan-kawannya, serta para penindas lainnya sebenarnya melakukan diskriminasi, memberikan tekanan pada orang-orang yang menurut mereka tidak lebih baik dari mereka atau yang menurut mereka seharusnya tidak boleh lebih baik. Kebanyakan yang ditindas adalah orang-orang pintar. Vernon sendiri adalah ranking tiga di kelas dan Kyle adalah seorang bintang lapangan.

Kyle menepuk-nepuk pundak Vernon, “Kalau kau membiarkan dirimu terus-terusan ditindas ada dua kemungkinan. Yang pertama karena kau adalah seorang masochist, kedua karena kau adalah seorang pengecut. Aku yakin kau bukan keduanya, sobat.”

Apa yang dikatakan oleh Kyle selalu dirasa benar oleh Vernon —sugesti yang muncul karena keduanya sama-sama berdarah campuran dan karena faktor kedekatan. Ditambah lagi sosok Kyle bagaikan pahlawan bagi Vernon, sudah sering sekali laki-laki itu menyelamatkannya dari para penindas dan jumlahnya tak dapat dihitung dengan jari.

“Bagaimana… Bagaimana kalau seandainya aku ini pengecut, Kyle?”

Nah, kurasa kau bukan pengecut. Kau hanya terlalu baik. Awalnya aku berpikir kita tak akan bisa berteman karena kita tidak memiliki begitu banyak kesamaan tetapi, justru apa yang kebanyakan orang katakan mengenai betapa ketidaksamaan itu memperkuat hubungan ternyata benar. Anggap saja aku ini iblis di telinga kiri dan kau malaikat di telinga kanan, kalau aku membisikan hal tidak baik terlalu banyak kau bisa menimbunnya dengan bisikan-bisikan kebaikan. Emosi dan pola pikirku bagaikan air bendungan dan kau adalah bendungannya.”

Vernon tertawa pelan. Menurutnya kadang hal yang tidak masuk akal lah yang sebenarnya terjadi.

Kan sudah kubilang waktu itu. Kalau kau tidak sanggup biar aku saja yang lakukan. Aku mengatakannya bukan hanya untuk membuatmu bergerak dan menghajarnya. Aku akan benar-benar melakukannya kalau kau memintaku. Ini bukan bentuk belas kasihan atau apapun, aku benar-benar melakukannya dengan sukarela karena, terlepas jauh dari ketidaksamaan yang kita miliki, kita adalah sama.”

Well,” Vernon menatap Kyle sambil menyunggingkan senyum tipis, “daripada air bendungan dan bendungannya, kita itu lebih seperti mobil dan remnya, kurasa.”

“Hahaha dasar payah. Kita itu seperti lampu lalu lintas. Kau lampu merahnya dan aku lampu hijaunya.”

“Lalu lampu kuningnya?”

“Entahlah. Kurasa kita berdua bisa menjadi lampu kuning untuk satu sama lain.”

 


[ EPILOGUE ]

‘Orang jahat berbeda dengan iblis.

Orang baik berbeda dengan malaikat.

Batman bukanlah dewa.

Dan The Joker bukanlah Lucifer.’

“Apaan ‘nih? Kau yang tulis?”

“Iya. Project buku baru. Yang kemarin ini laku keras dan pihak penerbit terus mendesakku untuk cepat-cepat menulis buku baru, katanya kalau bisa sekuel dari buku sebelumnya.”

Gadis bersurai hitam panjang itu mengangguk mendengar penjelasan dari lawan bicaranya. Rasa penasaran menggelitiknya dan ia pun bertanya, ” lalu? Apakah ini sekuel dari buku ‘Hitam dan Putih Adalah Abu-abu’ milikmu itu, Vernon?”

“HEY! VERNON!”

Vernon dan rekan kerjanya menoleh pada sumber suara yang ternyata berasal dari lorong ruang kerja. Kyle yang mengenakan setelan rapi berlari memasuki ruang kerja Vernon yang pintunya terbuka.

“Ups, apa aku mengganggu sesuatu? Kuharap tidak karena aku ingin mengajakmu makan siang. Tawaran kenaikan jabatan, baru saja.” Senyum yang mengembang pada wajah Kyle menular pada Vernon.

“Yang benar?! Oke, ayo!” Vernon bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu.

Sorry, Nara, ini khusus untuk pria karena kita akan makan di klub striptis.”

Nara dan Vernon tertawa. Keduanya berujar “gila” bersamaan dan yang disebut gila ikut tertawa.

“Aku turun dulu ke tempat parkir, kau tunggu di lobby, oke?”

Vernon mengangguk dan Kyle segera melesat ke arah lift yang terletak di pintu masuk lantai tempat mereka berada.

“Aku tak habis pikir, ‘kok kau bisa dekat sekali dengannya ‘sih?”

Vernon tertawa. Pertanyaan itu amatlah sering didengarnya, “tentu saja karena ia tidak sama denganku.”


FIN.

 


*charari (차라리): artinya “boleh juga” atau “agak mendingan” semacam itulah

Psst! I Know You Read This