I Miss You (Part 1)

 Title        : I Miss You
 Part         : 1
 Length       : Twoshot
 Rating       : T
 Main Cast(s) : 
 1. Seventeen The8 as Xu Minghao
 2. OC as Xiao wen

‘Jadwal penerbangan pesawat XY tujuan An Shan ditunda hingga pukul 17.00

“Halo? Kau masih di sana? Kenapa diam saja?”

“Ah maaf! Aku tadi sedang menyimak pengumuman dari pihak banda-“

Pesawatmu ditunda, Minghao gege?”

“Ah, suaranya terdengar sampai sana kah? Maafkan aku, sepertinya aku baru akan tiba malam sekali.”

“Hehe kau lucu sekali, untuk apa minta maaf? Cuaca buruk kan bukan salahmu.”

“I-iya aku tahu. Tapi tetap saja…”

“Ah maafkan aku Minghao gege. Batrai ponselku sudah tinggal empat persen lagi. Aku matikan y-“

“Hey! Hey! Tunggu sebentar! Jangan kau matikan dulu teleponnya Wen! Ada sesuatu yang ingin kukatakan!”

“Eh? Ada apa gege?”

“… Xiao Wen, ak-“

Tuut… Tuut…

“Aku merindukanmu….”

“Minghao! Ayo bangun! Sudah waktunya berangkat kuliah! Hari ini upacara penerimaan mahasiswa baru kan?”

Laki-laki bertubuh tinggi namun kurus yang sedang tertidur pulas itu terbangun ketika mendengar suara ibunya yang entah mengapa selalu saja terdengar keras.

“Hn iya ma, aku sudah bangun ‘kok.” Minghao mengucek-ucek kedua matanya yang masih terasa sepet. Semalam ia tidur larut sekali karena harus membereskan barang-barang, menata semuanya di rumah yang baru ia dan keluarganya tinggali malam tadi.

Dengan langkah gontai ia berjalan menuju ke kamar mandi yang letaknya tidak begitu jauh dari tempatnya berada sekarang. Dinyalakannya kran wastafel dan ia mulai menyikat giginya sambil menatap cermin yang bertengger tepat di atas wastafel. Ketika ia menatap bayangannya di cermin ia baru menyadari bahwa apa yang dikatakan orang-orang mengenai dirinya bukanlah sebuah kebohongan. Ya, ia benar-benar menjadi lebih kurus dari sebelum-sebelumnya.

“…. Zhenme ban ne*?” ia menghela napas panjang sebelum mulai menggosok mukanya dengan handuk.

oOOo

“Ma, aku berangkat dulu ya.”

“Iya Hao Hao, hati-hati di jalan ya!”

Minghao mengangguk sebelum sekali lagi melambaikan tangannya kepada ibunya dari luar pagar rumah. Sambil memanggul tas selempangnya ia berjalan lurus menyusuri trotoar menuju ke universitas tempat ia akan menimba ilmu mulai hari ini.

Langkahnya yang semula lebar lebar semakin mengecil dan mengecil. Seiringan dengan itu, sebuah senyuman tipis terlukis di wajahnya yang kecil namun hanya bibirnya saja yang tersenyum, jelas-jelas matanya mengatakan hal lain.

“Kau benar, yang namanya berdua jauh lebih menyenangkan….” gumamnya pelan sambil menoleh ke arah sebuah pohon besar yang memang letaknya dari dulu tidak pernah berpindah itu.

oOOo

“Selamat pagi!”

“Pagi!”

“Hey! Kau…”

Suasana yang ramai seperti ini, betapa ia merindukannya. Sudah cukup lama ia tidak merasakannya karena beberapa tahun yang lalu ia harus pindah ke ibu kota dan orang-orang di sana benar-benar kebalikan dengan orang-orang di kampung halamannya ini, kota An Shan. Ia bukannya mengatakan orang-orang ibu kota itu jahat, hanya saja menurutnya orang-orang di sini jauh lebih ramah dan yang paling jelas adalah orang-orang di sini lebih peduli terhadap sesama. Buktinya saja ia sudah berhasil mendapatkan teman-teman baru, padahal mereka adalah orang-orang yang sama sekali belum ia kenal.

“Jadi, namamu Minghao ya?”

“Iya, namaku Minghao, salam kenal.” Minghao tersenyum kepada anak yang baru dikenalnya itu.

“Hey salam kenal lagi haha. Kau tentu ingat namaku kan?”

Dengan yakin Minghao mengangguk. “Jielun bukan?”

Laki-laki bernama Jielun itu tersenyum puas sembari menunjukan ibu jarinya kepada MInghao.

Keadaan kelas yang semula ramai mendadak sepi ketika seseorang -yang adalah seorang dosen- memasuki ruang kelas sambil menenteng beberapa buah buku yang tebalnya bukan main. Melihat tumpukan-tumpukan buku itu membuat Minghao dan Jielun yang duduk bersebelahan menegak ludah.

“Tebal sekali…” bisik Jielun.

“Iya. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini.” sahut Minghao dengan bisikan juga.

Ketika dosen itu bertatap mata dengan Minghao, keduanya menganga seolah tidak percaya.

“Kau.. Kau adalah Xu MInghao ‘kan?” tanya dosen laki-laki itu sambil berjalan mendekati Minghao.

Minghao mengangguk-angguk. “I-iya ini aku, Jieli ge-“

“Sehabis kelasku berakhir, ikut aku ke ruanganku.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, dosen yang bernama Jieli itu kembali ke depan dan memulai pelajaran. Meninggalkan Minghao dan beberapa anak lain bertanya-tanya mengapa.

oOOo

“Xiao Wen! Hao Hao! Sudah malam! Berhentilah main di luar!” 

“Hihi, Jieli gege sepertinya marah besar. Ayo, Minghao gege! Kita sebaiknya kembali!”

Minghao hanya berjalan dengan pasrah mengikuti gadis kecil yang menggandengnya itu. Tidak, sebenarnya ia bukan gadis kecil, ia adalah seorang gadis yang lebih muda satu tahun daripadanya, hanya saja badannya memang benar-benar mungil. Mungkin tingginya sekitar 155cm, 25cm lebih pendek daripada dirinya.

“Kau tidak perlu menggandeng tanganku seperti itu, Wen. Aku bisa jalan sendiri.” Tangannya yang satu lagi meraih kepala perempuan yang berjalan di depannya dan menepuk-nepuknya pelan.

Perempuan itu berbalik, menjulurkan lidahnya. “Nanti gege hilang kalau tidak digandeng.”

Minghao tidak memahami perasaan apa yang ia miliki untuk gadis itu. Entah rasa sayang sebagai adik, entah rasa sayang sebagai sahabat, atau rasa sayang yang lain. Ia tidak mau ambil pusing karena pada usia dirinya sekarang, 17 tahun, adalah masa di mana sering sekali terjadi gejolak di dalam diri.

Suara hentakan kaki tidak sabaran terdengar ketika mereka berdua sudah beridiri di depan laki-laki tinggi yang berbadan cukup atletik.

“Halo Jielie gege~” Minghao dapat melihat senyuman gadis yang masih menggandeng tangannya walaupun matahari sudah tidak nampak.

“Apanya yang halo halo? Kalian ini seperti anak kecil saja! Sudah hampir waktu makan malam.” Dengan sedikit ketus laki-laki bernama Jieli itu menceramahi dirinya dan juga Xiao Wen.

“Dasar! Kau juga Minghao, sama saja! Aku pikir kau sudah lebih dewasa, tapi sama saja. Kalian berdua memang benar-benar seperti Peter Pan dan Wendy Darling, tidak juga bertambah dewasa.” Minghao dapat merasakan jitakan pelan pada keningnya.

“Ahaha, Maafkan aku JIeli gege. Bermain bersama adikmu membuatku lupa waktu.”

Seusai mengatakan hal itu, MInghao dapat melihat ekspresi Jieli yang berubah. Ia tidak tahu apa alasannya tetapi ekspresi laki-laki yang berusia 5 tahun lebih tua darinya itu benar-benar berubah.

“Ayo, sebaiknya kita kembali ke rumah masing-masing.”

oOOo

Minghao berjalan di belajang Jieli, mengikutinya ke ruang kerja yang terletak di lantai 2 gedung universitas. Ya, sesuai dengan suruhan Jieli sebelum kelas dimulai, Minghao mengikutinya ke ruangan kerjanya setelah kelas usai. Sesampainya di ruang kerja yang tampak berantakan itu, Jieli bergegas menutup pintu dan menguncinya dari dalam meninggalkan Minghao dalam kebingungan.

“JIeli gege, ada a-“

Ucapan Minghao terpotong karena secara tiba-tiba JIeli menopangkan lengannya di bahu Minghao kemudian ia membenamkan wajahnya sendiri ke lengannya. Minghao tidak paham apa yang terjadi hingga ia merasakan tetesan hangat pada bajunya.

“Hey ge! Kau kenapa?” Dengan sedikit panik Minghao membalikan badannya dan mengguncang pelan tubuh laki-laki yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri itu.

“Kau tahu?” dengan suara bergetar menahan tangis Jieli berkata. “Waktu kau pergi ke Beijing, banyak sekali hal terjadi.”

Seketika itu juga Minghao merasakan firasat buruk, firasat yang sangat amat buruk. Ia tidak tahu mengapa ia merasakan hal seperti ini namun ia benar-benar merasakannya. Tiba-tiba saja jantungnnya berdegup kencang. Ia menahan perkataan yang hendak keluar dari mulutnya.

“…..”

“…..”

“Ge, ceritakan padaku apa yang terjadi. Siapa tahu aku bisa membantu.” ujar Minghao dengan suara yang juga bergetar.

“… Kau tidak akan bisa membantu.”

Perasaan Minghao makin tidak karuan, makin berantakan. Entah mengapa pikirannya langsung tertuju kepada Xiao Wen.

“… Ge, hal ini tidak ada hubungannya dengan Xiao Wen ‘kan?”

Sudah sejak lama mereka selalu bermain bersama dan sedikit perubahan raut wajah dari Jieli dapat memberitahu Minghao apa yang terjadi selama ia pergi ke Beijing.

“H-hey ge. Jangan diam saja. Kalau kau diam aku tidak tahu apa yang terjadi.” Minghao mengtakan yang sebaliknya, ia sendiri ingin memungkiri kemungkinan negatif yang bersemayam di benaknya.

“Pulang nanti kau ikut aku. Kau akan tahu apa yang terjadi.”

Psst! I Know You Read This